Catatan Kecil
Surya Indonesia
Oleh : Sigit Budhy Prasetyo
Pimpinan Redaksi Surya Indonesia


    Kohesivitas adalah Kesatuan yang terjalin dalam kelompok, menikmati interaksi satu sama lain, dan memiliki waktu tertentu untuk bersama dan didalamnya terdapat semangat yang tinggi. (Forsyth, 1999) Ritual perayaan tujuhbelasan sudah melekat sebagai bagian dari budaya masyarakat kita sejak proklamasi kemerdekaan bangsa ini digulirkan 70 tahun yang lalu Perayaan hari kemerdekaan sejatinya bukan hanya sebatas dimaknai dengan penciptaan suasana meriah, gemerlap dan jargon jargon kebangsaan semusim, lalu hilang ditelan waktu. Sementara hakikat patriotisme konstruktif dan nasionalisme sebagai fitrah kemerdekaan nyaris kehilangan esensinya, tenggelam dalam hingar-bingar kemajuan jaman dan sikap-sikap antisosial yang semakin mengemuka. Penyimpangan karakter ke-Indonesiaan yang tampak kasat mata adalah ketamakan struktural hingga degradasi moral berupa maraknya aksi korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, penyalahgunaan narkoba dan aneka kemaksiatan lainnya yang kemudian menyertai keringnya jiwa serta semangat berbagi dan peduli. Dalam tataran keseharian ironi sosial banyak terjadi, adanya berbagai konflik horisontal, yang destruktif, demo-demo yang kontra produktif karena hanya memperjuangkan ego sektarian jangka pendek, resistensi terhadap pembangunan hingga pelanggaran ketertiban umum. Padahal, kemerdekaan negeri ini memerlukan konsistensi dan komitmen yang kuat seluruh anak bangsa untuk mengisinya dengan semangat kerja keras di berbagai bidang. Kondisi inilah yang sesungguhnya harus kita peringatkan kepada seluruh lapisan masyarakat agar selalu hati-hati, mawas diri dan kembali menyalakan semangat kebangsaan dan patriotism konstruktif yang mulai redup dalam dekade terakhir ini. Kemerdekaan (independence) hakikatnya bukan kebebasan tanpa batas (freedom at all costs). Kemerdekaan sebagai fitrah kemanusiaan adalah hak segala bangsa, sebagaimana juga tertuang dalam Mukaddimah UUD 45. Kalau kemerdekaan merujuk kepada hak, itu berarti ada sisi kewajiban dalam nuansa keadilan.
    Dalam perspektif ini, fitrah merdeka adalah hak, sementara kewajiban sebagai anak bangsa adalah berlaku adil atas hak-nya masing masing dengan menghormati hakhak orang lain, maka inilah hakikat sesungguhnya dari kemerdekaan, yakni memahami dengan benar hak dan kewajiban sebagai fitrah setiap warga negara. Preseden bahwa kemerdekaan adalah kebebasan mutlak sangat berbahaya bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara. Kelompok yang memaknai kemerdekaan sebagai jalur “ sekali bebas, bebas sekali” cenderung mengusung egosentrisme, sektarianisme, pola memaksakan kehendak, uniformitas serta memandang kelompok kelompok lain sebagai sempalan hingga melakukan fragmentasi-fragmentasi komunitas, mana yang sehaluan dan mana yang tidak. Perbedaan seharusnya disikapi sebagai rahmat Allah yang harus dikelola dengan benar, karena perbedaan adalah juga fitrah kemanusian. Tindakan yang tepat dan bijak dalam manajemen konflik misalnya, mencerminkan sebuah kedewasaan dan kecerdasan sebuah bangsa yang besar.
    Hakikat kemerdekaan adalah mengisi kemerdekaan itu sendiri dengan hal-hal yang bermanfaat. Momentum peringatan kemerdekaan RI ke 70 tahun ini justru menurut hemat saya paling menarik dan sakral untuk dimaknai, karena ada dua momen besar yang baru berlalu dan akan dihadapi oleh anak bangsa ini, pertama, baru saja kita tinggalkan bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri 1436 H dan kedua, rakyat Indonesia akan menghadapi hajat besar Pilkada serentak Desember 2015 nanti, sebagai ajang kontestasi politik demokrasi. Nilainilai ketakwaan seharusnya turut mewarnai rasa kebangsaan yang permanen, lalu dalam konteks ini pula seharusnya jiwa anak bangsa ini telah kembali fitrah, suci, bersih sehingga memiliki matahati yang lebih tajam untuk memandang dan memaknai dengan menjalankan secara nyata semangat kebangsaan dalam aktivitas keseharian dimana saja dalam kesempatan kapanpun. Merdeka berarti bebas dari penjajahan, bebas dari tahanan, bebas dari kekuasaan, bebas intimidasi, bebas tekanan, dari nilai-nilai dan budaya yang mengungkung diri kita. Setiap manusia yang lahir ke dunia semuanya adalah mahluk merdeka.
    Jadi apapun terminologi “ kebebasan” yang kita tanamkan, hendaknya maknai juga sebagai kemerdekaan dengan syarat mutlak mengikuti perintah dan menjauhi segala larangan Allah, itulah fitrah kemerdekaan. Sebagai khalifah di bumi, dan sebagai mahluk sosial (zoon politicon) manusia memiliki peran interaktif melalui ikatan sosial yang berlandaskan kepada Ketuhanan yangMaha Esa, Hal lain yang penting adalah memelihara kerukunan antar umat seagama dan antar umat beragama, hidup berdampingan secara harmonis dan tulus, menebar sikap anti diskriminasi, membuang jauh sikap rasialis apalagi tindakan mau menang sendiri. Disamping itu hendaknya juga menumbuhkan semangat baru untuk membangun persatuan, etos kerja serta rasa memiliki yang tinggi. Adalah juga fitrah manusia merdeka untuk taat kepada Allah, Rasul serta Ulil Amri dengan menata perbedaan pendapat secara bijak. Bahkan hal-hal yang dianggap sepele dalam aktivitas keseharian masyarakat bilamana sadar kemerdekaan, adalah kewajiban untuk menjaga lingkungan hidup misalnya dengan tidak merusak alam. Tidak membuang sampah di sembarang tempat, ikut menjaga kebersihan dan ketertiban dan lain-lain.Itulah wujud ‘nasionalisme kecil’ dan patriotism konstruktif.
    Dalam menghadapi Pilkada 2015 mendatang, sudah seharusnya nilai nilai ketakwaan yang dibawa dari penggemblengan di bulan Ramadhan dan dari semangat silaturahmi Idul Fitri hendaknya memunculkan nuansa kebaikan dimana-mana. Adalah ironis jika sebagian besar kita masih saja bertikai sama lain hanya karena perkara perbedaan pilihan politik, perbedaan keyakinan hingga perbedaan status sosial ekonomi. Kemerdekaan hakikatnya bukan hanya proses pertukaran pemerintahan daripada satu golongan pemerintah kepada satu golongan pemerintah lain yang lebih berhak , melainkan juga nikmat dan karunia Allah yang patut disyukuri. Kemerdekaan negara merupakan pembebasan jiwa rakyatnya dari keadaan belenggu nilai-nilai yang semata-mata mengikut perintah penjajah kepada nilai bersandarkan kebenaran dan hakikat; pembebasan dari kemiskinan dan kebodohan. Semua warga negara Indonesia, tanpa kecuali, punya peran penting di Republik ini ; membangun karakter, membentuk nilai-nilai kepribadian bangsa, serta menata kembali banyak hal yang telah melenceng jauh dari cita-cita Kemerdekaan. Sebab tanpa adanya semangat kolektif kolegial, hanya mau menang sendiri, tamak dengan materi dan politik kekuasaan belaka serta enggan untuk membangun ikatan sosial yang solid, maka tak ada makna fitrah merdeka didalamnya.
    Momentum pasca ramadhan dan Idul fitri sejatinya membawa nilai nilai ketaqwaan sebagai fitrah guna mengisi kemerdekaan dan mempererat kohesivitas atau kekompakan sosial. Jika kita kehilangan momentum itu, maka penduduk bangsa ini tak ubahnya akan seperti buih di lautan, banyak tapi tak berarti apa-apa. Mau Indonesia lebih baik ?, Ini slahsatu resepnya ; rivalitas politik jangan d ibawa-bawa ke pergaulan social!. Berbeda pendapat atau berbeda pendapatan itu biasa saja. Mestinya setiap selesai “pesta”, kita “cuci piring” rame-rame, lalu menata bersama “rumah Pancasila” untuk Indonesia yang lebih baik. Jangan tiru pemimpin politik yang mutung karena sentimen pribadi terkait politik, suku, agama, ras dan antar golongan. (*)

Posting Komentar

 
Top